SEJARAH GAMPONG

Senin, 27 Mei 2013

Dari Kampung Bidari Hingga Gunung Batu Kapas

Pagi itu suasana sangat sejuk diiringi gerimis yang menyirami kebun sawit di kecamatan Cot Girek, Aceh Utara. Dari sana kami menjumpai seorang teman bernama Ayi. Matahari belum juga mengintip kami, kata kawan ku “sepertinya matahari tak akan melihat kita pagi ini, awan redup sangat pekat”.


Tampa memperlambat suasana kami langsung bergegas, dari perjalanan darat menuju kampung Bidadari, Tanah Merah, merupakan kecamatan paling ujung di Aceh Utara. Kami menghabiskan waktu hampir 2 jam perjanan, karena jalan bebatuan sulit dilintasi mobil sekelas Avanza. Disana kami bertemu dengan seorang tokoh masyarakat bernama Anwar. Pak anwar inilah yang menjadi juru kunci penjelajahan kita.

Dari kampung Bidadari kami masih melalui jalan darat yang berlumpur dan mendaki, juga sempat mentok dijalan akibat terjebak lumpur. Kami pun harus turun mendorong mobil hingga ke puncak. 3 jam perjalanan darat kami lalui akhirnya sampai ke sebuah kampung Daraja, merupakan kampung paling ujung di Aceh Timur.

Tanpa banyak basi basa, dari kampung Daraja kami langsung menuju Boat, sebuah perahu yang digunakan masyarakat setempat untuk berkebun dan juga alat transportasi andalan mereka. Boat milik pak Anwar lumayan besar, katanya bisa memuat beban hingga 10 ton lebih. Juga sering digunakan mengangkut Batako dan kayu sebagai alat kontruksi.

Dari perjalanan sungai yang kami lalui, kami menikmati pemandangan alam yang sangat indah, hutan-hutan masih sangat lebat seperti tidak pernah disentuh manusia. Saya sempat bergurau sama teman, “ini seperti dalam film aja yah”. Ditengah sungai air begitu deras membuat perahu yang kami tunggangi tiba-taba mati. Kami pun linglang di tengah sungai. Sebentar kami menepi dan mengikat perahu diilalang yang timbul di tengah sungai.

Dalam kondisi itu kami sempat menggunakan waktu untuk foto-foto. Pak Anwar berusaha keras memperbaiki mesin, rusaknya dibagian klep, “klepnya bengkok” kata pak Anwar. Kita kehabisan cara, sepertinya misi kita gagal hari ini saut seorang temanku.

Tiba-tiba muncul sebuah perahu yang sedang mendaki searah dengan tujuan kami. Pak anwar melambaikan tangan meminta bantuan. Dan kami beralih ke boat tersebut, sedikit lebih kecil dari boat pak anwar. Perjalanan menuju tempat tujuan kami dari jalur sungai itu ternyata memakan waktu 3 jam, “biasanya 1 jam sudah sampai, tapi semalam banjir. Air masih sangat deras, sulit bagi kita untuk memaksa perahu”. Cetus pak anwar.

Matahari masih belum nampak, sepertinya memang tidak ada matahari siang ini. Sekitar jam 2 lewat kami sampai di kaki gunung Batu Kapas, tempat manusia manusia perahu mengambil kayu kontruksi bangunan, yang merupakan mata pencaharian utama mereka.

Perut begitu lapar, tidak satu pun diantara kami yang membawa makanan kecuali hanya ada roti kering dan 2 botol aqua. Bermodal 2 potong roti, tanpa membuang waktu kami langsung mendaki ke puncak. Perjalanan mendaki pun begitu sulit, hutan yang lebat dan jalan setapak sangat licin akibat hujan memperlambat tujuan kami.

Satu jam mendaki kami tiba ditujuan, Puncak Gunung Batu Kapas. Orang orang disana juga menyebutnya alur aqua, karena air yang terdapat di alur tersebut begitu jernih. Tanpa isirahat, kami mengeluarkan perkakas untuk mengambil sampel penelitian terhadap beberapa penemuan warga tentang batu mulia.

Penjelajahan kami sangat memuaskan karena membuahkan hasil. Hari menjelang senja, perjalanan pulang kami lalui jalur sungai dengan menumpang perahu pekerja disana, kami hanya di antar setengah jalan, karena mereka harus kembali ke hutan sebelum malam.
Selanjutnya terpaksa berenang hingga jalan kaki melewati hutan belantara.

Badan begitu dingin, sebagian sudah menggigil. Akhir perjalanan tiba di kampung Daraja setelah magrib tepat jam 19:15 WIB, tempat kami parkir mobil. Disana kami disajikan secangkir kopi, sambil berbincang dengan warga setempat kami memberi penjelasan tentang hasil penelitian kepada mereka.

Saya juga sempat menanyakan sedikit tentang profil desa mereka, ternyata kampung tersebut memiliki keturunan campuran Aceh, Gayo, Singkil dan Jawa. Dominan masyarakat disana adalah dari Suku Gayo, sedangkan dari suku lain hanya minoritas. Mereka juga dominan menggunakan bahasa Gayo, tapi mereka juga bisa bahasa aceh dan indonesia.

Kehidupan penduduk disana masih sangat terisolir dan gelap, belum ada listrik pemerintah yang masuk kesana. Setiap rumah hanya memiliki satu lampu dari energi Surya. Malam begitu gelap, kami merasa masih ditengah rimba. Karena perjalanan kami untuk pulang masih sangat jauh, harus melewati jalur berlumpur dan mendaki. Kami pun pamit untuk kembali. Abdul Hadi (24 November 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar