BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mengenal sejarah
dan kebudayaan bangsanya. Dalam arti kultural, bangsa merupakan sekelompok
manusia yang menganut kebudayaan yang sama. Setiap bangsa memiliki sejarah,
adat dan kebudayaan masing-masing. Budaya yang
dimiliki suatu bangsa merupakan cerminan identitas bangsa tersebut. Kehidupan
manusia diawali dalam sebuah keluarga, kemudian berkembang menjadi
kelompok-kelompok masyarakat hukum tertentu (suku).
Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujarat Ayat 13:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (Al-Hujarat : 49-13)
Ayat di atas adalah petunjuk Allah menyangkut hal ikhwal alam kodrat
manusia dalam urusan bagaimana merajut dan membangun suatu kehidupan bersama
baik dalam konteks kehidupan antar individu maupun antar kelompok masyarakat.
Lebih tegasnya, disini manusia harus dilihat baik sebagai makhluk yang bersifat
individual, memiliki egositas (potensi dan kecendrungan untuk lebih
mementingkan diri sendiri), bersama sejumlah karakteristik individualnya saling
berbeda antara satu individu dengan individu lain. Maupun sebagai makhluk
sosial yang meniscayakan bahwa manusia tidak mungkin hidup sendiri-sendiri, kemudian
melahirkan kehidupan berkelompok, antara satu kelompok dengan kelompok lain.
Dalam ayat tersebut, Allah memberi pedoman kepada manusia yang berpikir, bahwa
eksistensi makhluk manusia memiliki sifat-sifat, hukum-hukum dan norma-norma
secara kodrat melekat sebagai suatu keniscayaan universal. Konsekwensi logis, kehidupan manusia yang
berkelompok-kelompok itu mensyaratkan perlunya membangun relasi, interaksi,
komunikasi, interkoneksi, jejaringan dan kerjasama, kemudian satu sama lain menjadi
saling mengenal, mengerti dan memahami bersama segala bentuk keharusan
sosiologis (sociological-must) lainnya, seperti keharusan tolong menolong,
berkorban, toleransi dan akomodasi. Karena hal-hal tersebut adalah sangat
berperan penting dan berguna dalam membangun dan membina suatu tata kehidupan
bersama yang harmonis, saling mengayom dan mendamaikan. Maka sifat eksistensial
umat manusia yang niscaya hidup secara berkelompok-kelompok dan satu sama lain
memiliki aneka perbedaannya masing-masing, baik secara formal, simbolik,
substansial maupun esensial adalah sesuatu yang sangat penting untuk
diperhatikan, dipahami dan disadari sebagai sesuatu yang absah, wajar dan
logis-rasional.
Perbedaan-perbedaan dalam dan antar
kelompok itu merupakan suatu hasil konstruksi historisitas sosial yang
berlangsung secara alamiah, dan terbangun melalui proses rasionalitas,
emosionalitas dan spiritualitas tertentu, baik yang tumbuh di dalam kelompoknya
masing-masing, maupun saat mereka harus hidup berdampingan dengan berbagai
kelompok lain di sekeliling eksistensinya. Secara tak terelakkan semua proses
tersebut membentuk perbedaan-perbedaan antar kelompok, yang terus terjadi
sepanjang sejarah sejak kelahiran hingga terbentuknya kelompok (etnis) itu
sendiri. Kemudian semua produk historisitas sosial itulah yang turun temurun
diwariskan secara transgenerasional, dari satu generasi ke generasi
selanjutnya, sepanjang sejarah eksistensinya.
Dari realitas pengalaman sejarah
kehidupan berkelompok yang panjang ini, terbentuklah berbagai unsur alam
pikiran dasar yang meliputi: world-view,
common sense, kepercayaan, tata-nilai,
upacara-upacara, budaya dan adat istiadat, mitologi,
totemisme dan ritual keagamaan. Semua ini diyakini
secara bersama sebagai kaedah-kaedah normatif yang mengikat dan mejadi
elemen-elemen dasar bagi konstruksi kehidupan bersama kelompok. Kaedah-kaedah normatif terkadang memiliki tingkat
sakralitas tertentu, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai ajaran agama, latar
filosofi kehidupan dalam menata kehidupan bersama. Kemudian dianggap
agung, dimuliakan dan muncul menjelma ke dalam pola pikir dan pola prilaku, selanjutnya menjadi
kebiasaan kelompok, adat istiadat dan kebudayaannya. Oleh karenanya, faktor-faktor
ethnografi antar kelompok mengisyaratkan hubungan interaksi untuk saling kenal-mengenal antara individu dan antar kelompok yang berbeda-beda.
Negara Indonesia dengan letak geografisnya diantara
pulau-pulau terdapat beragam suku dan agama, serta memiliki sejarah dan budaya
berbeda-beda di masing-masing daerah. Di Aceh sendiri terdapat sejarah dan
budaya yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Penduduk Aceh merupakan
keturunan berbagai suku, kaum dan bangsa. Leluhur masyarakat Aceh berasal dari
Semenanjung Malasyia, Cham, Cochin, Kamboja. Disamping itu banyak juga keturunan
bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama islam di
tanah Aceh. Bangsa arab yang datang ke Aceh banyak dari provinsi Hadramaut
(Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka seperti al-Aydrus,
al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain,
semuanya merupakan marga-marga arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan
pedagang, sebagian mereka kawin dengan penduduk asli Aceh dan menghilangkan
nama marganya. Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat
dibuktikan dengan penampilan wajah masyarakat Aceh, serta variasi makanan
(kari), dan juga warisan dari hindu tua, nama-nama desa yang diambil dari
bahasa Hindi (contohnya: Indra Puri). Keturunan Tiongkok juga pernah memiliki hubungan
yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan laksamana Cheng-Ho,
yang pernah singgah dan memberi hadiah pada kerajaan Aceh yaitu sebuah Lonceng
besar, sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya. Selain itu banyak juga
keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas
undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit
dan serdadu perang. Keturunan mereka sangat banyak tersebar diwilayah Aceh
Besar. Disamping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, diwilayah Kuala Daya,
Lam No, Kabupaten Aceh Jaya, mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut
portugis dibawah pimpinan Nahkoda Kapten Pinto yang berlayar hendak menuju
Malaka (Malasyia), sempat singgah dan berdagang di Lam-No. Sebagian dari mereka
menetap tinggal di Lam No, peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511 M. Pada
saat itu Lamno dibawah pimpinan raja Meureuhom Daya.
Pada tahun 1511 Portugis dari malaka sempat menjalin
hubungan per-dagangan dengan kerajaan Pedir (Pidie), pusat kerajaannya di
Lam-Lo. Namun ketika Portugis memperluas wilayah dagangannya ke wilayah Kerajaan
Aceh, raja Aceh pada saat itu Ali Mughayat Syah menolak kedatangan Portugis.
Pada tahun 1514 Aceh berhasil mengusir Portugis dari kerajaan Pedir dan Pase,
sehingga kerajaan Pedir dan Pase tunduk kepada kerajaan Aceh.
Menilik beberapa buku tentang sejarah Aceh, kebanyakan
penulis hanya menuliskan sejarah Aceh secara umum. Belum ada buku yang me-nyinggung
tentang sejarah yang ada di Gampong Nangrhoe
Timu yang merupakan salah satu desa dalam kecamatan Ulim
kabupaten Pidie Jaya. Maka dari itu penulis mengharapkan buku ini menjadi
warisan sejarah budaya dan adat istiadat kepada generasi selanjutnya. Sejarah budaya
dan adat istiadat yang diwariskan secara
turun-temurun telah menjadi tatanan hidup masyarakat. Di dalamnya tertanam norma-norma dan nilai-nilai kehidupan sebagai tata cara pergaulan dalam kelompok
masyarakat itu sendiri.
Menurut
H. M. Zainuddin dalam tulisannya Aceh Dalam Inskripsi dan Lintasan Sejarah.
Sebelum Islam masuk ke Aceh, di Aceh telah
berkembang kota-kota kerajan hindu
seperti : Kerajaan Poli di Pidie yang berkembang sekitar tahun 413 M.
Kerajaan Sahe sering juga di sebut Sanghela di
kawasan Uleeglee dan Meureudu, kerajaan
ini terbentuk dan dibawa oleh pendatang dari pulau Ceylon. Kerajaan Indrapuri di Indrapuri. Kerajaan
Indrapatra di Ladong. Kerajaan Indrapurwa di Lampageu, Kuala pancu. Semua kota-kota hindu tersebut setelah Islam kuat di
Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah
tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan Ulim
dengan Meurah Dua).
Asimilasi adat dan budaya itulah kemudian melahirkan adat dan budaya Aceh sebagaimana yang berlaku sekarang. Sebuah ungkapan bijak dalam hadih maja
disebutkan, “Mate aneuék meupat
jeurat, mate adat
pat tamita.” Ungkapan ini bukan hanya sekedar pepatah semata. Tapi juga pernyataan yang berisi penegasan tentang pentingnya melestarikan sejarah budaya dan
adat-istiadat sebagai pranata sosial dalam hidup
bermayarakat. Pranata sosial ini merupakan koridor dalam melaksanakan berbagai kegiatan kemasyarakatan, baik
yang berhubungan dengan kebudayaan maupun keagamaan. Masyarakat Aceh umumnya dan Nangrhoe Timu khususnya memiliki sejarah budaya dan adat-istiadat
yang perlu dibangkitkan kembali sebagai
warisan leluhur untuk dilestarikan bagi generasi
selanjutnya.
Secara
umum sejarah kebudayaan dan adat-istiadat di Gampong Nangrhoe Timu, memiliki
kesamaan dengan daerah-daerah lainnya di Aceh, khususnya Aceh bagian pesisir.
Apa yang terkandung dalam
buku ini, tidak
hanya ada di Gampong Nangrhoe Timu, tapi juga sebagaian
di antaranya ada di daerah lain, meski ada sedikit perbedaan dalam
pelaksanaannya.
Revitalisasi budaya harus dilakukan sejak dini, sebelum berbagai
tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan perkembangan global
yang sangat cepat, adat budaya tersebut bisa hilang ditelan zaman. Amanah
pelestarian adat-istiadat termaktub dalam pasal 1945 pasal 32 (penjelasan) yaitu kebudayaan daerah
merupakan akar kebudayaan nasional. Adat Istiadat daerah adalah milik
kebudayaan nasional yang perlu dilestarikan.
Selanjutnya,
sejarah budaya dan adat istiadat juga sudah menjadi salah satu wawasan
pembangunan daerah. Buku yang berisi tentang sejarah gampong, upacara
kebudayaan dan pranata sosial di Nangrhoe Timu, mulai dari sejarah berdirinya
gampong hingga kebudayaan dan adat istiadat yang pernah berlaku di gampong
Nangrhoe Timu. Adat-istiadat tersebut antara lain :
1. Upacara
kenduri yang berkaitan dengan
kepercayaan
2. Kenduri yang
berkaitan dengan keagamaan
3. Acara peusijuek
Berikutnya
ada juga Adat istiadat yang berhubungan dengan siklus hidup seperti adat dan
upacara kelahiran, adat istiadat terhadap bayi baru lahir, adat istiadat
terhadap anak sebelum dewasa, adat dan pergaulan remaja, adat dan upacara
perkawinan, adat dalam berumah tangga, adat yang berhubungan dengan mata
pencaharian, dan adat yang berhubungan dengan sewa menyewa dan penjualan,
serta permainan dan pertunjukan
tradisional dalam masyarakat gampong Nangroe Timu.
Buku
ini juga memuat tentang permainan anak-anak di Nanghroe Timu, yang sebagiannya
juga dimiliki oleh desa-desa lain di Pidie Jaya. Permainan anak-anak merupakan khasanah budaya
yang diterima anak-anak dari generasi sebelumnya. Namun terjadinya pergeseran
nilai dan budaya
dalam masyarakat membuat permainan-permainan tersebut
hilang.
Menyadari hal tersebut, maka penulisan buku ini kembali
menggambarkan tentang permainan anak-anak sebagai
langkah inventarisasi kembali permainan-permainan
tersebut. Inventarisasi permainan anak-anak di Aceh ini pernah dilakukan oleh tim peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1985 silam. Sebagian dari permainan tersebut ada di Gampong Nanghroe Timu, kami tulis
kembali dalam buku ini dengan seleksi dan narasi yang sesuai.
Adat dan kebudayaan juga mewariskan sebuah hukum non formal dalam masyarakat, yakni hukum adat merupakan hukum pelengkap dari hukum yang berlaku secara umum (hukum positif). Disamping tunduk kepada hukum positif, masyarakat juga terikat dengan
hukum dan ketentuan adat. Aceh memiliki
kekhasan tersendiri dalam hukum adat
dengan berbagai lembaga adatnya yang sudah ada semenjak zaman kerajaan.
Hukum adat tersebut telah disesuaikan dengan filosofi hukum Islam, sehingga sukar dibedakan antara hukum dan adat itu sendiri. Seperti
tercermin dalam hadih maja, hukôm ngôn
adat lagèë zat ngôn
sifeut, tak dapat dipisahkan. Untuk
merekam kembali sejarah, budaya dan adat-istiadat dalam pranata kehidupan bermasyarakat di gampong Nangrhoe Timu. Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka penulisan buku ini
dilakukan.
B. Metode
Penulisan
Penulisan buku ini dilakukan melalui study pustaka
yang memuat ten-tang sejarah budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh. Mengenai literatur yang memuat tentang sejarah budaya dan adat-istiadat di Aceh, belum ada
literatur lengkap tentang sejarah budaya dan adat-istiadat masyarakat
gampong Nangrhoe Timu. Untuk
menutupi kekurangan tersebut, penu-lisan buku ini juga dilakukan dengan pengumpulan
data melalui wawa-ncara dengan tokoh-tokoh adat dan pelaku seni khususnya seni
tradisio-nal yang ada di Gampong Nangrhoe Timu, seperti Abdul Basyah (Lahir
1932) dan Nek Nain (Lahir 1923), keduanya pernah hidup pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang.
C. Tujuan Penulisan
Sebagai
sebuah tulisan yang diangkat melalui heuristik, kritik, inter-pretasi, dan
historiografi. Penulisan buku ini
diharapkan bisa menjadi
pencerahan bagi pelaku adat dan budaya di Gampong Nangrhoe Timu dalam
melestarikan adat dan budayanya. Selain itu juga bisa menjadi sebuah gambaran
tentang eksistensi dan revitalisasi adat dan budaya ter-sebut dalam masyarakat.
Tujuan
lainnya, mendeskripsikan bagaimana sesungguhnya adat dan istiadat yang sudah
mentradisi dalam masyarakat itu dijalankan dengan beragam nilai yang terkandung
di dalamnya. Kelak juga di-harapkan bisa menjadi petunjuk bagi generasi
selanjutnya yang ingin mengetahui
tentang sejarah kebudayaan dan adat-istiadat yang berlaku di Gampong Naroe
Timu.
BAB II
GAMBARAN UMUM GAMPONG
NANGRHOE TIMU
A.
Letak Geografis
Nanggroe Timu merupakan salah satu desa dalam wilayah kecamatan Ulim, kabupaten Pidie Jaya. Secara
geografis terletak diantara; Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Balee
Ulim, sebelah barat berbatas-an dengan Gampong Nangrhoe Barat, sebelah Utara
berbatasan dengan Gampong Pantang Cot Baloi, dan sebelah selatan Berbatasan
dengan Gampong Meunasah Kumbang. Gampong Nangrhoe Timu dibentuk
dari penggabungan enam dusun, diantaranya
dusun Neubok Keuyuen, dusun Paya Trieng, dusun Geuleumpang, dusun Dayah
Angkoi, dusun Meunasah Pheb dan dusun Tanjong Sinteung.
1. Luas
Wilayah
Sebagai
wilayah yang agraris letak wilayahnya dapat dibagi menjadi tiga wilayah bagian.
Berdasarkan data dari Keuchik Gampong Nanggrhoe Timu (tahun 2012) dapat dibagi
luas wilayahnya antara lain; luas wilayah Persawahan 35 Ha, Luas Wilayah
Perkebunan 80 Ha, Luas wilayah perumahan penduduk dan lahan bebas 485 Ha.
2. Jumlah
Penduduk
Berdasarkan
data dari Geuchik, jumlah penduduk di Gampong Nangrhoe Timu pada saat ini
(tahun 2012) dengan jumlah Kepala Keluarga 230 KK dan jumlah keseluruhan
penduduknya 928 Jiwa. Jumlah laki-laki 447 Jiwa, Jumlah perempuan 481 Jiwa.
B.
Sejarah
1. Asal
Usul Penduduk
Adapun
tentang asal usul penduduk di gampong Nanggroe Timu, secara umum sama dengan
asal usul penduduk di Pidie Jaya atau Aceh pesisir pada umumnya, namun beberapa
ungkapan dari sejarah lisan yang diungkapkan oleh para tokoh adat, asal muasal
penduduk Gam-pong Nangrhoe Timu sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Bashah
(1932), kebanyakan dari keturunan Hindia
dan Portugis, ada juga dari keturunan Thailand. Pendapat lain dari Nek Naim
(1923), menyatakan penduduk gampong Nangrhoe Timu berasal dari para Ulama yang
pertama sekali menduduki kampung tersebut. Salah satunya adalah ulama Rheng
yang “cah gampong Nangrhoe Timu”.
Berdasarkan
sejarah lisan yang diwariskan dari masyarakat di gampong Nangrhoe Timu, sangat
erat kaitannya dengan sejarah asal usul penduduk Aceh pada umumnya, sebagaimana
diungkapkan oleh beberapa sejarawan yang pernah menulis tentang Aceh. Snouck Hur-gronje mengaitkan dengan
sajak-sajak lama masyarakat Aceh. Ke-turunan atau sukee dalam bahasa
Aceh dikenal sejak zaman Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah yang diperkirakan pada
tahun 1537 Masehi. Sultan Ala’uddin juga dikenal dengan nama dan sebutan lain,
yakni Al-Kahhar atau Al-Kahhas setelah mangkat menjadi sultan. Terdapat empat
kaum atau dalam bahasa Aceh disebut kawom,
untuk mengenal hal tersebut masyarakat sering mengingatnya dengan lantunan baik
itu melalui syair dan sajak yakni sebagai berikut:
Sukee Lhee Reutoh Ban Aneuk Drang;
Sukee Ja Sandang
Jra Haleuba;
Sukee Ja Batee Na Bacut-Bacut;
Sukee Imum Peuet Nyang Gok-Gok Donya;
Mengenai asal-usul Aceh
sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas, karena selain banyaknya versi,
sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos
atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul
Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa
kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang
dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat
bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan
bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus hulubalang
bernama Teungku Kutakarang
(wafat pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran
orang Arab, Persia, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini
sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard,
2007:62).
2. Asal
Usul Nama Gampong
Nama
Nangrhoe menurut cerita dari perawi sejarah gampong tersebut, mula-mula berasal
dari kata Canang Rhob, merupakan
sebuah alat musik yang terbuat dari bambu, sering dimainkan pada acara-acara
pertunjukan dengan melantunkan panton atau syair-syair Aceh. Pada masa
kekuasaan kerajaan Aceh dipegang oleh Sultan Iskandar Muda 1607 sampai 1636, Menurut cerita dari
Abdul Basyah ; Sultan dalam perjalanannya menuju kebarat, sesampainya di Uteun
Geuleumpang (Sebutan awal gampong Nangrhoe Timu) masyarakat Gampoeng tidak
peduli atas kedatangan raja, mereka gaduh dengan memainkan musik dan
melantunkan syair-syair, sehingga pada masa itu Raja Poe Teumeureuhom Meukuta
Alam menamakan Desa Nangrhoe Timu dengan sebutan Canang Rhob (Canang Ribut) karena suara alat musik dan lantunan
panton-panton membuat para masyarakat Gampong tersebut cukup gembira ria.
Berdasarkan cerita rakyat diatas maka
dapat kita tarik kesimpulan bahwa asal mula nama desa Nangrhoe Timu berawal
dari nama yang di tetapkan oleh raja Iskandar Muda. Kalau kita tarik dari usul
kata Nangrhoe/Nanggroe dalam bahasa Indonesia bisa kita artikan Negara. Bermula
dari Canang Rhob sedikit demi sedikit kata Canang Rhob berubah panggilannya
menjadi Nanggroe.
C.
Potensi
Gampong Nangrhoe Timu
Penduduk Gampong Nanggrhoe Timu memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA), yakni dari sektor pertanian,
perkebunan, peternakan dan sebagian kecil pada usaha kontruksi. Berdasarkan
letak wilayah yang agraris, manyoritas penduduk adalah bertani, berkebun dan
peternakan. Namun ada juga sebagian kecil yang bergantung pada mengembangkan
usaha kontruksi seperti perabotan dan industri batu bata.
1. Sistem
Pertanian
Sebagai mana telah dijelaskan di atas,
masyarakat Gampong Nangrhoe Timu pada umumnya adalah petani. Sistem pertanian
masyarakat sekarang sudah semakin berkembang dan sudah menggunakan teknologi
mesin dan Irigasi. Pencaharian dari sistem ini merupakan mata pencaharian pokok
masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki lahan persawahan. Sedangkan masyarakat
yang tidak memiliki lahan sendiri biasanya menggarap lahan orang yang bersedia
memberikan lahannya dengan membayar sewa tanah kepada pemilik tanah. Ada juga
sebagian masyarakat yang tidak memiliki tanah, tetapi berkerja sebagai buruh
tani, seperti Teu Upah Seumula,
Seumomprot, Peugeot Ateung, Keumeukoh, Peutingoh Pade, Seumelhoe dan lain
sebagainya.
Lahan
persawahan di Gampong Nangrhoe Timu. (foto : Rizzami 2013)
Masa
turun kesawah atau menanam padi biasanya dijalankan masyarakat dua kali tanam
dalam satu tahun.
2. Sistem
Perkebunan
Pada
sektor perkebunan masyarakat Gampong Nangrhhoe Timu umumnya memilih perkebunan
Coklat. Menurut masyarakat perkebunan coklat mudah dirawat dan cepat panen.
Selain itu juga memiliki harga jual yang tinggi.
3. Sistem Kontruksi
Sebagian
kecil penduduk Gampong Nangrhoe Timu mengembangkan industri bahan kontruksi
seperti pabrik batu bata. Pada sektor ini sangat banyak menampung tenaga kerja
bagi masyarakat. Dengan adanya industri ini dapat mengurangi nilai pengangguran
dalam masyarakat Gampong Nanggroe Timu.
Pabrik
batu bata yang terdapat di Gampong Nangrhoe Timu hingga saat ini masih dalam
jumlah kecil. Hanya beberapa warga yang memiliki pabrik batu bata dan dapat
menampung tenaga kerja hingga puluhan orang.
Pekerja di Pabrik Batu di Gampong
Nangrhoe Timu Bata sedang mengolah tanah sebagai bahan dasar batu bata. (foto: Rizzami 2013)
Beberapa
industri yang berkembang dalam masyarakat Gampong Nangrhoe Timu belum selain
dari pabrik batu bata ada juga perabotan. Perabotan masih dalam kategori unit
usaha masyarakat ekonomi menengeah ini memiliki sumber penghasilan yang cukup
bagi keluarga. Selain itu juga dapat menampung tenaga kerja dan menjadi potensi
yang menambah pendapatan masyarakat.
BAB III
BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT
A.
Budaya Masyarakat Gampong Nangrhoe Timu
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh
masytrakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk dari sitem agama dan polotik, adat-istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Beberapa kebudayaan yang
pernah ada di Gampong Nangrhoe Timu.
1.
Khanduri yang berkaitan dengan keagamaan
Dalam
masyarakat Aceh termasuk
di Naroe Timu, masyarakat
setiap tahun melakukan kenduri dan perayaan yang berkaitan dengan keagamaan.
Baik yang dilakukan secara massal, maupun secara pribadi. Beberapa khanduri
tersebut adalah:
a. Khanduri Maulid
Khanduri molod
dilaksanakan untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad Saw. Khanduri ini
dilaksanakan bulan Rabiul Awal (molod awai) yakni dimulai pada 12 Rabiul Awal
sebagai hari lahirnya Nabi Muhammad Saw, kemudian dilanjutkan pada bulan Rabiul
Akhir (molod teungoh) dan bulan Rabiul Akhir (molod akhe).
Bagi masyarakat Gampong
Nangrhoe Timu kenduri maulid merupakan suatu keharusan, jadi pelaksanaannya
harus dilakukan secara matang, agar semua keluarga baik yang kaya maupun
berekonomi lemah mampu melaksanakannya.
Setiap rumah akan
menyiapkan hidangan untuk diantar ke meunasah tempat perayaan maulid dilakukan.
Makanan tersebut dibungkus dengan daun pisang berbentuk kerucut (bu kulah)
yang diatur rapi dalam sebuah talam, begitu juga dengan aneka masakan lauknya
disusun rapi dalam hidangan berlapis (idang meulapeh) lauk biasanya dari aneka
daging dan ikan pilihan yang sengaja dipersiapkan untuk dikendurikan pada hari
memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Pemuda desa bertindak sebagai panitia
yang akan membagi-bagikan hidangan tersebut kepada ratusan tamu yang datang
dari berbagai desa tetangga untuk menikmati santapan hari maulid. Selain
membawa hidangan ke meunasah, masyarakat juha melaksanakan kenduri maulid di
rumah untuk para tamu.
Panitia maulid sedang
membagikan hidangan maulid kepada para tamu undanga. (foto : Rizzami 2013)
Pada perayaan malod dimeunasah juga diadakan dike (zikir), yang
dimain-kan oleh para anak-anak dalam satu kelompok. Kelompok dike melantunkan
zikir-zikir dan selawat kepada Rasulullah SAW.
b. Khanduri Israk Mikraj
Khanduri israk
mikraj dilaksanakan untuk
mengenang peristiwa Israk
Mikraj yang dilakukan
oleh Nabi Mumammad Saw
dengan mengendarai Buraq atas
bantuan malaikat Jibril
untuk bertemu dengan Allah Saw di Arasy yakni diatas
lapisan langit yang ke tujuh untuk menerima
perintan shalat sebagai
salah satu rukun Islam. Khanduri
ini tidak semeriah
khanduri maulid, kenduri israk
mikrat hanya dilakukan
malam hari di meunasah usai shalat isya. Masyarakat akan
membawa hidangan kue-kue dan minuman untuk dikendurikan. Setelah hidangan
itu dimakan bersama,
seoran Teungku akan
menyampaikan ceramah agama
tentang peristiwa israk mikraj. Penceramah biasanya diundang
teungku dari daerah
lainnya. Masyarakat dengan
antusias mendengar ceramah
tersebut dan mengambil pelajaran dari isi ceramah yang
disampaikan.
c. Khanduri Nifsu Syakban
Khanduri
nifsu Syakban dilaksanakan di meunasah pada 15
Syakban. Khanduri ini dirayakan acara ceramah yang disampaikan oleh Teungku Meunasah atau Teungku yang
diundang dari daerah lain. Kenduri ini dilaksanakan untuk menyambut bulan suci
Ramadhan. Setelah selesai ceramah, para hadirin akan makan kenduri bersama yang
dibawakan oleh masyarakat desa setempat.
d. Khanduri Siploh Muharram
Khanduri
Siploh Muharram atau sepuluh Muharram sering juga disebut sebagai hari Asyura.
Kenduri ini dilaksanakan untuk
memperingati hari wafatnya cucu nabi Muhammad Saw yakni Hasan
dan Husein. Pelaksanaannya dilaksanakan pada siang hari 10 Muharram di
meunasah meunasah. Khanduri
ini dalam disebut juga kenduri ie
bu (bubur kanji) kerana bubur kanji yang dimasak di meunasah hari itu
dibagi-bagikan kepada masyarakat kampung.
e. Khanduri Daruih
Quran/Peutamat Quran Khanduri 27 Puasa
Khanduri
peutamatat daroih (menamatkan tadarus)
dilangsungkan di meunasah-menasah pada malam bulan Ramadhan. Kebiasaan
masyarakat Gampong Nangrhoe Timu pada malam bulan Ramadhan sejak malam pertama
dan seterusnya, usai melaksanakan shalat tarawih akan membaca Alqurkan bersama (tadarus) secara sambung
menyambung sampai tamat. Ketika bacaan sudah tamat, maka masyarakat akan mengadakan khanduri di meunasah dengan
cara membawa hidangan nasi yang akan dimakan bersama.
f.
Khanduri Boh Kayei
Khanduri ini
dilaksanakan pada bulan
Jumadil Akhir. Bermula dari
kebiasaan masyarakat Aceh membeli
bermacam buah-buahan untuk
disedekahkan/kenduri ke mesjid atau meunasah. Buah-buahan tersebut
diperuntukkan bagi orang-orang yang mengunjungi mesjid atau meunasah untuk
beribadah.
g. Khanduri Beureuat
Khanduri
Beureu’at pada malam pertengahan bulan Syakban. Kenduri ini dilaksanakan untuk
mendapatkan keberkatan umur dari Allah
Swt, karena diyakini pada malam tersebut
Allah akan menentukan umur hamba untuk tahun berikutnya. Pada malam itu
masyarakat akan membawa khanduri ke meunasah, khanduri itu akan dimakan setelah
selesai shalat tasbih dan berdoa bersama. Pada malam 15 Syakban para teungku
di gampong usai kenduri itu tidak akan
tidur, mereka akan kembali ke rumah melanjutkan berdoa kepada Allah agar
umurnya diberkati untuk tahun depan dan segala musibah yang akan dihadapinya
pada tahun depan dihapuskan dalam buku qada dan qadar yang akan ditulis oleh
Allah Swt atas namanya.
h. Khanduri Kematian
Khanduri kematian dilaksanakan bila ada orang meninggal. Khanduri ini dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam, mulai dari memandikan mayat, mengkafani, menshalatkan, sampai mengu-burkan mayat. Usai mayat dikuburkan, ahli waris yang ditinggalkan akan melaksanakan khanduri selama tujuh hari tujuh malam.
Khanduri ini dilaksanakan karena selama tujuh hari masyarakat dan sanak saudaranya
dari berbagai daerah akan datang untuk melakukan takziah, mengirimkan doa kepada saudaranya yang sudah meninggal.
Setiap hari dan malam selama tujuh hari tersebut pemuda kampung akan datang ke rumah yang ditimpa musibah untuk membantu melayani rombongan pelayat yang
datang untuk bertakziah. Puncak kenduri akan dilaksanakan pada hari ketujuh
setelah meninggal (seuneujoh). Ahli waris akan menyediakan hidangan makanan untuk masyarakat yang berkunjung. Masakan
itu dimasak secara gotong royong oleh masyarakat
gampong baik dari kaum perempuan dan laki-laki, mulai dari kuah, nasi, sampai
berbagai peganan. Khanduri ini dilaksanakan
dengan harapan amalan dari sedekah
kenduri akan mengalir
kepada orang yang sudah meninggal.
2. Khanduri
yang berkaitan dengan kepercayaan
a.
Khanduri
Apam
Khanduri
apam dilaksanakan pada 27 Rajab yang diperingati
sebagai hari israk mikraj Nabi Muhammad SAW. Pada malam 27 Rajab,
masyarakat desa berkumpul di Meunasah (Surau) untuk mendengar cermah tentang
peristiwa israk mikraj yang dialami Nabi Muhammad SAW. Ceramah ini disampaikan
oleh seorang Teungku, baik oleh Teungku
di Gampong tersebut maupun teungku yang
didatangkan dari daerah lain.
Khanduri apam
bermula dari seorang pria Aceh yang
ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama tentang
pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan oleh
malaikat Mungkar dan Nakir terhadap si mayat, serta hukuman yang
akan dijatuhkan terhadap si mayat bila
tak mampu menjawab pertanyaan yang
diajukan kedua malaikat tersebut.
Pria Aceh tersebut
berpura-pura mati dan dikuburkan hidup-hidup. Dalam kubur ia pun diperiksa
oleh Malaikat Mungkar dan Nakir tentang agama dan amalannya. Karena tak mampu
menjawab pertanyaan maka pria itu dipukul dengan pentungan besi. Namun pukulan
malaikat itu tidak mengenai pria tadi. Dalam kegelapan kuburan, ada sesuatu
yang menyerupai bulan yang seolah-olah melindungi pria itu dari pukulan
malaikat.
Pria yang pura-pura mati
itu kemudian berhasil keluar dari kuburan dan segera pulang ke rumah. Semua
anggota keluarga dan sanak famili yang masih berduka terkejut dibuatnya. Isak
tangis pun terjadi. Ia kemudian menceritakan pengalamannya dalam kuburan.
Benda bulat yang seolah-olah seperti bulan yang menghalangi pukulan malaikat
merupakan apam (serabi)
yang dibuat
oleh keluarganya untuk dibagi-bagikan kepada pelayat.
Setelah peristiwa itu,
maka setiap rumah di Aceh akan memasak apam bila ada kerabatnya meninggal. Kue
apam itu dibagikan di kuburan kepada para pengantar jenazah, sesaat setelah
mayat dikuburkan. Apam merupakan kue yang dibuat dari bahan tepung beras dan
santan berbentuk bulat. Cara membuatnya, tepung yang bercampur santan
dimasukkan ke dalam penggoreng yang diolesi minyak makan. Kadar olesan minyak hanya sebatas
cukup untuk diserap satu apam. Untuk memakannya diberikan kelapa parut bercampur
gula agar apam tidak tawar. Ada juga yang dimakan dengan kuah tuhe, kuah
tersebut masak dari santan dan pisang.
b.
Khanduri
Blang
Khanduri blang merupakan upacara adat
turun ke sawah yang dilakukan oleh masyarakat gampong Nangrhoe Timu. Tujuannya
mengharap berkah dari Allah SWT agar hasil panen melimpah dan tidak diganggu
hama.
c.
Khanduri
Tulak Bala
Khanduri
ini dilakukan pada saat-saat tertentu. Misalnya terjadi gempa bumi atau musibah
banjir. Kebiasaan juga khanduri ini dilakukan apabila musibah-musibah yang
menimpa petani seperti gagal panen atau tanaman mereka diserang oleh hama-hama
yang dianggap oleh masyarakat setempat sebagai teguran dari Tuhan.
d.
Khanduri
Seuneubok
Khanduri seuneubok dilakukan oleh para
peladang dan pekebun di perbukitan. Khanduri ini juga hampir sama dengan
khanduri blang, yakni dilatar belakangi oleh rasa syukur kepada Allah Swt dan
mengharap berkah atas hasil tanaman yang akan ditanam di ladang atau kebun.
Khanduri seuneubok dilakukan di
ladang-ladang yang dibuka di pinggiran hutan. Kenduri biasanya dilakukan
setelah pembukaan lahan dengan untuk menanam berbagai jenis tanaman muda dan
palawija. Pembukaan lahan biasanya dilakukan secara gotong royong dari petak
kebun satu warga ke petak kebun warga lainnya. Kerja sama seperti ini disebut
meurueup.
Pada khanduri ini tak jauh beda dengan
khanduri lainnya, warga peladang akan berdoa dan makan bersama di ladang, baik
yang baru dibuka maupun ladang lama yang akan ditanami kembali. Khanduri ini
dikoordinir oleh Peutua Seunebok, yakni orang yang dituakan untuk mengurusi
ladang dan kebun.
Petua Seuneubok dipilih oleh masyarakat
pekebun dalam wilayahnya melalui musyawarah. Berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun
2008, Petua Seunebok bertugas mengatur dan membagi lahan garapan dalam kawasan
seuneubok, membantu tuga spemerintah dalam bidang perkebunan dan kehutanan,
mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat dalam wilayah seunebok, serta
melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah seuneubok.
3.
Peusijuek
Peusijuek (tepung tawar) merupakan sebuah
kearifan masyarakat Aceh dalam menyelesaikan suatu sengketa dan memulai
sesuatu yang baru. Pesijuek berbeda-beda menurut tujuan dan pelaksanaannya.
Secara umum kebiasaan ini dilakukan dengan memberi tepung tawar oleh pemuka
agama terhadap apa yang dipeusijuek.
Peusijuek juga diiringin dengan ucapan
doa-doa keberkatan yang Islami. Simbol-simbol dan materi yang digunakan dalam
pesijuk juga memiliki makna simbolis keimanan dan spiritual. Simbol yang
tercermin dalam peusijuek antara lain, meminta kepada Allah Swt (tauhid),
kerukunan dan kebersamaan yang mencerminkan solidaritas sesama, serta
keseimbangan spiritual dan kerelaan.
Peusijuek juga memberi makna kesejukan,
perdamaian dan memperkuat persatuan dalam ikatan persaudaraan. Hal ini
tercermin dalam syair seperti di bawah ini :
Tueng seumpeuna lam breuh pade
kulet sabe lindong asoe
beujroh budoe beuget pie
bek meupake sabe keudroe-droe
Beuriteuk ie tueng seumpeuna
seulama lama beulupie asoe
oh seuuem hate beu lupie utak
beurangkaho tajak hana meupaloe
Tueng sampeuna sisijuek samboe
lam ie lam thoe diduek keudroe
watei dikeu gob bek meutajo-tajo
han teulanjo beurangkaho
Taplah boh u tueng seumpeuna
tiang subra bek meuyo yoe
reudok keutungkat kilat keu suwa
bak buet nyang beuna Allah ridha Poe.
Tgk.
M. Nazar sedang menepung tawari
(peusiejuk) pemuda dalam acara pelepasan Tim Zikir. (foto
: Rizzami 2013)
Simbol-simbol pelaksanaan
peusi-juk diletakkan da-lam mangkok yang terdiri dari beras dan padi. Ini
dimaksudkan sebagai lambang kemakmuran. Air, tepung dan beras sebagai lambang
kesucian. Daun-daunan yang banyak mengandung air sebagai lambang kesejukan,
ketenangan dan ketentraman. Naleung tambo yakni rumput yang tumbuh berumpun
dan berakar banyak melambangkan kekokohan, persatuan dan kebersamaan.
Kemudian nasi ketan dan
tumpoe sebagai lambang yang memiliki nilai-nilai perekat hubungan satu sama
lain yang saling memberi, saling membutuhkan dan saling menghargai. Lalu
cincin, emas dan uang sebagai lambang kejayaan.
Tradisi peusijuek juga
melambangkan keterbukaan masyarakat Aceh terhadap budaya luar sekaligus
memberi pengaruh terhadap budaya luar. Sikap keterbukaan ini sebagai bentuk
toleran masyarakat Aceh terhadap orang lain dan penghargaan terhadap alam sekitar. Peusijuek dilakukan dalam banyak
hal diantaranya adalah:
- Peusijuek Meulangga
Peusijuek
meulangga (melanggar) dilakukan untuk mendamaikan perselisihan/pertengkaran antar
warga yang mengakibatkan keluarnya darah. Peusijuk ini biasanya dilakukan di
Meunasah dipimpin oleh Geuchik (kepala desa) yang bertindak sebagai wakil dari
kedua belah pihak yang bertikai. Ia juga menjadi hakim yang mendamaikan
perselisihan tersebut secara adat. Bagi pihak yang melakukan
pelanggaran---seperti perkelahian misalnya---hingga menimbulkan keluarnya dara
pihak lain, maka dia diharuskan memberi sejumlah uang kepada pihak yang
darahnya keluar. Pemberian uang tersebut disebut sayam. Jumlah uang yang diberikan
tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.
Zaman
dahulu sebagaimana disebut Snouck Hurgronje, peusijuek meulangga diawali
dengan denda adat meulangga untuk menghilangkan luka atau hinaan dan dendam
pihak yang darahnya keluar. Biasanya pihak yang darahnya keluar akan datang
bergerombolan ke kampung pihak yang menyebabkan keluar darah untuk memberikan
denda adat.
- Peusijuek Pade Bijeh
Peusijuek
Pade bijeh (benih padi) dilakukan oleh petani terhadap padi yang akan dijadikan
bibit. Perusijuek ini dilakukan secara personal oleh petani di rumahnya ketika
padi yang akan dijadikan
bibit direndam. Setelah direndam selama satu malam, bibit tersebut akan
dimasukkan kedalam karung dan diletakkan di tempat dingin. Dua sampai tiga
malam kemudian bibit basah tersebut akan menjadi kecambah.
Kecambah itu kemudian diuraikan hingga
terlepas. Saat itulah peusijuek dilakukan, tujuannya mengharapkan agar bibit
tersebut diberkahi Allah SWT dan bisa tumbuh menjadi padi yang subur. Setelah
prosesi peusijuek dilakukan dengan memercikkan air yang meggunakan ikatan akar
berbagai jenis tanaman, bibit tersebut baru dibawa ke sawah untuk ditabur di
neuduk, yakni petak khusus di sawah yang dibuat untuk tabu pade bijeh
(menyemai benih)
- Peusijuek Peudong Rumoh
Peusijuek peudong rumoh dilakukan ketika
seseorang hendak membangun rumah sebagai tempat tinggal. Sebelum tiang-tiang
rumah didirikan, siempunya hajatan akan membuat nasi ketan (bu lukat) untuk
peusijek rangka rumah yang akan didirikan. Peusijuek dilakukan oleh Tgk Imum
Gampong dengan membaca doa-doa agar rumah yang akan didirikan diberkati oleh
Allah SWT sebagai tempat tinggal yang akan memberikan ketentraman.
Setelah membaca doa, Tgk Imum akan melakukan
sipreuk breuh pade (menabur beras dan padi) sebagai simbul kesejahteraan,
kemudian memercikkan air dengan akar-akaran berbagai tumbuhan rerumputan.
Setelah itu Tgk Imum akan mengambil secuil ketan, sambil berdoa ia meniup ketan
tersebut untuk kemudian disangkutkan di tiang utama rumah yang akan dibangun.
Kemudian ketan yang dibuat oleh pemilik rumah dibagikan kepada para tetangga untuk
disantap. Selanjutnya baru tukang yang membuat rumah bekerja sampai rumah itu
selesai dibangun.
- Peusijuek Rumoh Baro
Peusijuek juga dilakukan setelah rumah
selesai dibangun, yakni ketika si pemilik rumah ingin masuk mendiami rumah
tersebut. Upacara peusijuk ini juga dilakukan hampir sama dengan pesijuek pada
saat pembangunan rumah dilakukan. Bedanya bila pada saat pembangunan rumah nasi
ketan dan akar-akaran (seunijuek) disangkutkan di tiang utama, pada peusijuek
rumoh baro disanglutkan di atas ventalasi pintu utama rumah.
- Peusijuek Keureubeun
Peusijuek keureubeun (kurban) dilakukan
biasanya pada hari raya Idul Adha, saat masyarakat muslim mengurbankan
ternaknya sebagaimana diperintahkan agama. Sebelum ternak disembelih untuk
dikurbankan, maka dilakukan prosesi peusijuek mengharap keridhaan Allah SWT
agar kurbannya diterima, dan bisa menjadi kenderaan baginya di hari akhirat
kelak.
- Peusijuek Kenderaan
Peusijuek
kenderaan dilakukan oleh orang yang baru membeli kenderaan baru sebelum
kenderaan tersebut digunakan. Peusijuek ini dilakukan untuk meminta keberkatan
dari Allah SWT agar pengguna kenderaan tersebut terhindar dari kecelakaan.
Prosesi peusijuek juga sama dengan peusijuek-peusijuek lainnya.
- Peusijuek Khitanan
Peusijuek khitanan dilakukan terhadap
anak yang akan dikhitan. Tujuannya mengharap dari Allah SWT agar proses
khitanan bagi si anak berjalan lancar dan si anak cepat sembuh setelah
dikhitan. Pada peusijuek ini, biasanya saudara-saudara si anak akan datang
memberi semangat, kepadanya juga akan diberikan sejumlah uang dari oraang-orang
yang datang menjenguknya pada saat peusijuek. Tujuannya agar si anak merasa
bahagia dan tidak takut ketika dikhitan.
- Peusijuek Ureueng Puleh Saket
Peusijuek orang yang baru sembuh dari
sakit, atau baru pulih dari kecelakaan dilakukan untuk mengembalikan semangat
(puwoe roh) si sakit yang baru sem
buh. Biasanya
dilakukan terhadap orang-orang yang baru sembuh dari penyakit kronis atau
kecelakaan berat. Peusijuek ini dilakukan berulang-ulang secara bergiliran oleh
sanak saudara si sakit yang baru sembuh. Umpamanya, peusijuek kali pertama
dilakukan oleh keluarga pihak perempuan, esoknya dilakukan oleh keluarga pihak
pria, dan hari hari seterusnya oleh pihak keluarga lainnya. Orang yang datang
pada peusijuek ini juga membawakan uang sebagai sedekah bagi orang yang
dipeusijuek.
- Peusijuek Ureung Ek Haji
Peusijuk orang naik haji ada yang
dilakukan oleh saudara atau masyarakat kampung bila ada warga kampungnya yang
akan naik haji. Tujuannya mendoakan agar orang yang akan naik haji tersebut
bisa melaksanakan ibadah haji dengan sempurna. Prosesi acara peusijuek juga
sama dengan peusijuek-peusijuek lainnya.
B.
Adat Istiadat Masyarakat Gampong Nangrhoe Timu
Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari
nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang
lazim dilakukan di suatu daerah. Sementara itu, asal kata adat sendiri menurut
Jalalluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan arab yang tinggal di Aceh dalam
tulisannya pada tahun 1660), “adat” berasal dari bahasa arab “adah” yang
berarti cara atau kebiasaan.
Adat istiadat dalam
masyarakat Gampong Nangrhoe Timu secara umum sama dengan adat istiadat
masyarakat Aceh pesisir lainnya. Untuk memperkuat adat, Sultan Iskandar Muda
pernah mengucapkan sebuah hikayat saat beliau menghukum mati anaknya sendiri
karena tertangkap melakukan perzinahan dengan seorang istri panglima prang.
Hikayat tersebut lebih kurang “matee
aneuk meu pat jrat, matee adat pat ta mita”, yang artinya; mati anak ada
kuburnya, mati adat kemana hendak dicari.
Masyarakat Gampong
Nangrhoe Timu memiliki adat istiadat yang mengatur siklus kehidupan, mulai dari
adat semasa kelahiran, kanak-kanak, dewasa, tua, sampai kematian. Di setiap
tingkatan usia itu adat istiadat yang berlaku berbeda-beda.
1.
Adat dan Upacara Kelahiran
Masyarakat Aceh sudah mengatur
tata cara adat dan perlakuan terhadap anak-anak sejak masih dalam kandungan.
Mulai dari masa diketahui kehamilan ibunya, sampai si anak hamil. Ada
perlakukan khusus terhadap si ibu yang mengandung, yakni mengantarkan nasi
(mee bu), menjaga pantangan bagi ibu hamil, sampai membawa rekreasi si ibu
setelah melahirkan (meuramien).
- Mee
Bu
Upacara mengantar nasi (mee
bu) dilakukan saat pengantin wanita (dara baro) diketahui sudah hamil. Kabar
kehamilan tersebut segera disampaikan kepada keluarga mempelai pria (linto
baro). Mendapat kabar gembira itu, maka ibu linto baro selaku mertua (mak tuan)
pada suatu waktu akan mengunjungi dara baro yang hamil tersebut bersama sanak
keluarganya. Dalam kunjungan tersebut, rombongan mak tuan membawakan nasi
bungkus berbentuk piramida (bu kulah) yang
dibungkus daun pisang.
Biasanya upacara mengantar
nasi ini dilakukan pada saat usia kehamilan dara baro sudah tujuh bulan.
Bersama bu kulah turut dibawakan lauk pauk yang terdiri dari ikan, daging, ayam
panggang, dan burung panggang. Nasi dan lauknya itu dimasukkan dalam baki
(talam) ditutup dengan tudung kemudian dibungkus. Adat membawa makanan ini
sering juga disebut mee gaténg.
Selain itu juga dibawakan
sirih, pakaian bayi dan uang ala kadar. Pakaian dan uang itu akan diserahkan
langsung kepada dara baro yang sedang mengandung, sebagai simbul penyerahan
tanggung jawab untuk merawat bayi yang akan lahir. Begitu juga dengan burung
panggang, khusus diberikan kepada ibu hamil agar anaknya yang akan lahir nanti
cerdik dan pandai. Jenis burung yang biasa diberikan adalah merpati.
Pemberian ini dimaksudkan
agar dara baro yang sedang hamil mendapat penghormatan dari mertuanya, yakni
dengan memberikan makanan yang enak-enak untuk menghadapi masa kelahiran.
Karena pekerjaan melahirkan dianggap sebagai pertarungan hidup mati si ibu
untuk melahirkan anak. Dalam istilah masyarakat Aceh disebut sambong nyawong,
yakni menyambung nyawa.
Menariknya, pengantar
makanan ini semua dilakukan oleh perempuan. Ketika sampai di rumah dara baro
rombongan dijemput oleh seorang penyambut di halaman rumah untuk dipersilahkan
masuk ke ruang tamu (seuramoe). Sementara pihak tuan rumah berada di ruang
belakang (seuramoe likot). Makanan yang dibawa diserahkan kepada pihak dara
baro, lalu dibawa ke seuramoe likot untuk diperlihatkan kepada keluarganya,
kemudian dibuka untuk dimakan bersama. Rombongan pengantar makan di ruang
tamu, sedangkan tuan rumah makan di ruang belakang.
Setelah selesai acara
makan, dara baro menjumpai rombongan mertuanya di ruang tamu untuk mohon maaf
dan meminta doa restu, sambil salaman dan bersujud kepada mertua dan ibu
kandungnya. Kemudian barang yang dibawa untuk dara baro yakni pakaian bayi akan
diserahkan beserta sejumlah uang diserahkan langsung disertai dengan kata
pengantar yang kemudian dijawab oleh pihak keluarga dara baro. Usai penyerahan
tersebut, maka selesaikan prosesi adat mee bu atau mee gateng.
- Pantangan
Saat Kehamilan
Masa kehamilam bagi
ibu-ibu muda di Aceh, apalagi kehamilan pertama, merupakan masa-masa penuh
pantangan. Segala sesuatu yang dikonsumsinya dijaga dengan baik untuk menjaga
kesehatan janin yang dikandungnya. Selain itu geraknya juga diberi pantangan-pantangan,
diantaranya: dilarang berada di luar rumah pada senja dan malam hari, dilarang
duduk di ujung tangga, dilarang melangkahi kuburan, dilarang mendatangi
tempat-tempat yang seram, dilarang melihat benda-benda yang berbau mistik,
serta dilarang berbicara hal-hal yang kurang senonoh.
Para sanak saudara atau
kerabat juga dilarang berkunjung ke rumah wanita hamil waktu magrib dan larut
malam. Dalam adat masyarakat Aceh dipercaya bahwa pada saat itu jin mengikuti
si tamu ke rumah. Kalau pun harus bertamu pada waktu itu karena keperluan yang
mendesak, maka setibanya di depan pintu tamu tersebut harus berdehem
mengeluarkan suara, kemudian berhenti beberapa saat di luar rumah. Ia tidak
bisa langsung masuk agar jin atau roh halus yang mengikutinya pergi
meninggalkannya.
- Meuramien
Untuk menghibur wanita
hamil, kebiasaan masyarakat Aceh membawa si ibu hamil bertamasya (meuramien) ke
tempat-tempat yang indah dan alami seperti pantai dan sungai, pada waktu
luang. Pada acara meuramien ini kedua pihak keluarga baik pihak istri maupun
pihak suami biasa ikut untuk meramaikannya. Kegiatan meuramien ini malah
diusulkan oleh kedua belah pihak. Setelah ditentukan waktu dan tempat, dara
baro yang sedang hamil bersama suaminya diajak.
Pada acara meuramien ini
kedua keluarga membawa makanan untuk dimakan bersama di tempat tamasya.
Makanan yang dibawakan biasanya nasi dengan segala lauk pauknya, serta lincah
(rujak) dan buah-buahan untuk dara baro yang hamil. Semua bahan-bahan dan
makanan yang dibawa dipersiapkan oleh mertua dan ibu kandungnya. Acara
meuramien ini dilakukan untuk menyenangkan hati dara baro yang hamil, serta
sebagai bentuk rasa syukur kedua belah pihak keluarga atas kehamilan tersebut.
2.
Adat dan Perlakuan Terhadap
Bayi yang Baru lahir
Ketika usia kehamilan
sudah mencapai tujuh atau delapan bulan. pihak mertua akan mengusahakan seorang
bidan untuk menyambut kelahiran bayi. Biasanya dipersiapkan juga hadiah-hadiah
yang akan diberikan kepada bidan sebagai persetujuan untuk mengusahakan proses
melahirkan sebaik mungkin. Penyerahanitu disebut dengan peuneulang yakni hidup
dan mati ibu hamil diserahkan kepada bidan yang akan menangani proses
melahirkan.
Biasanya yang diberikan
kepada bidana adalah: sirih setapak, pakaian sesalin, dan uang ala kadarnya.
Setelah menerima pemberian tersebut, bidan membuat seunangkai untuk dipakaikan
pada ibu hamil. Seunangkai digunakan agar ibu hamil tidak diganggu oleh jin
atau mahkluk halus lainnya. Maklum zaman dahulu proses persalinan masih
menggunakan jasa ma blien (dukun beranak) belum ada bidan seperti sekarang.
Seunangkai itu dibuat dari benang aneka warna, sepotong kemenyan, dan tiga buah
putik limau, kemudian dibungkus dengan kain putih dan diikatkan di pinggang
ibu hamil.
Pada saat bayi lahir, tali
pusatnya dipotong dengan menggunakan sebilah sembilu, kemudian diobati dengan
obat tradisional, seperti arang, kunyit dan air sirih. Semua itu diaduk menjadi
satu dan ditempelkan pada pusat bayi. Sebelum tali pusatnya dipotong, terlebih
dahulu pangkal tali pusat diikat. Bila bayi yang lahir laki-laki diikat dengan
tujuh ikatan, bila perempuan lima ikatan. Setelah tali pusat dipotong, baru
bayi dibersihkan.
- Azan
dan qamat di telinga bayi
Setelah bayi dibersihkan,
bidan menyerahkannya kepada ayah atau kakeknya. Ia dipangku dan diucapkan azan
di telinga kanannya kalau bayi laki-laki. Kalau bayi perempuan cukup di qamat
saja. Azan dan qamat di telingan bayi yang baru lahir ini dilakukan sebagai
simbol untuk menyambut seorang muslim atau muslimah. Setelah itu bayi tersebut
dibaringkan di samping ibunya. Sementara ari-ari bayi dimasukkan kedalam sebuah
periuk yang bersih dibumbui dengan aneka bungan dan wangi-wangian untuk
dikuburkan.
- Cuko
Ok dan Peucicap
Pada hari ketujuh bayi
lahir, diadakan upacara cuko ok (cukur rambut) dan peucicap, yang kemudian disertai
dengan pemberian nama terhadap si bayi. Acara peucicap dilakukan dengan cara
mengoles madu pada bibir bayi disertai dengan doa dan pengharapan dengan
kata-kata agar si bayi kelak tumbuh menjadi anak yang saleh, berbakti kepada
kedua orang tua, agama, nusa dan bangsa.
Selama 44 hari sejak
lahir, ibu bayi banyak menjalani pantangan-pantangan. Ia harus tetap berada di
kamarnya, tidak boleh berjalan-jalan apalagi keluar rumah. Tidak boleh minum
yang banyak, nasi yang dimakan juga tanpa gulai dan lauk pauk. Begitu juga
dengan makanan yang peda-pedas sangat dilarang. Selama pantangan tersebut ibu
bayi selalu dihangatkan dengan bara api yang terus menerus di samping atau di
bawah ranjang tidurnya. Masa pantangan ini disebut madeung.
Untuk menjaga badan dan
perut si ibu yang baru melahirkan tidak melar dan agar tetap langsing, dilakukan
cara tradisonal yakni dengan toet bateei (memanasi batu). Batu dibakar lalu di
balut dengan kain dan diletakkan di perut wanita yang baru melahirkan. Rasa
hangat atau panas dari batu tersebut akan membakar lemak sehingga tubuh wanita
yang baru melahirkan tersebut setelah menjalani masa pantangan akan tetap
langsing.
Setelah masa madeung
selesai, ibu bayi akan dimandikan oleh bidan yang merawatnya dengan air yang
dicampur irisan boh kruet (limau perut). Acara mandi ini disebut manoe peu ploh
peut, yang bermakna mandi setelah 44 hari menjalani masa madeueng. Pada hari
ini mertuanya akan datang membawakan nasi pulut kuning, ayam panggang, dan
bahan-bahan untuk peusijuek ro darah (keluar darah) menantunya pada saat
melahirkan.
Setelah upacara itu
selesai, kepada bidan yang merawat ibu hamil tersebut diberikan hadiah berupa:
pakaian satu salin, uang ala kadar, uang penebus cincin suasa, beras dua
bambu, padi dua bambu, pulut kuning, ayam panggang, dan seekor ayam hidup. Setelah
itu selesaikan kewajiban bidan dan tanggung jawab terhadap ibu hamil tersebut.
- Peutron bak tanoh
Setelah masa 44 hari
ibunya menjalani madeueng, bayi akan diturunkan untuk menginjak tanah pertama
kalinya. Prosesi adat ini disebut peutron bak tanoh. Ada juga yang melakukannya
dengan mengadakan pesta besar-besaran untuk, apalagi pada kelahiran anak
pertama.
Pada upacara adat ini bayi
digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai maupun budi
pekertinya. Orang yang menggendongnya memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu
bayi diturunkan dari tangga dipayungi dengan selembar kain yang dipegang oleh
empat orang pada setiap sisi kain. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar
bayi menjadi pemberani. Suara saat batok kelapa dibelah ditamsilkan sebagai
suara petir, si bayi nantinya tidak takut terhadap petir dan berbagai tantangan
hidup lainnya. Ia akan menjadi seorang anak yang ceubeh dan beuhe (gagah
berani).
Belahan kelapa tadi
sebelah akan dilemparkan ke arah para wali si bayi, sebelah lagi kepada karong.
Wali merupakan saudara dari pihak ayah si bayi, sedangkan karong saudara dari
pihak ibu. Setelah itu salah seorang anggota keluarga bergegas menyapu halaman
dan yang lain menampi beras bila bayi yang diturunkan ke tanah perempuan.
Sedangkan bila bayi
laki-laki, keluarga tadi akan mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau
batang tebu. Perlakuan ini sebagai maksud agar si bayi kelak menjadi anak yang
rajin dan giat berusaha. Setelah itu bayi akan dijejakkan ke tanah, kakinya
menyentuh tanah untuk pertama kali, lalu digendong dibawa berkeliling rumah
atau mesjid. Setelah itu baru dibawa pulang kembali ke rumah.
- Ikat Ayon
Kebiasaan masyarakat Aceh,
termasuk di Pidie Jaya, menidurkan anaknya dalam ayunan. Hal ini dilakukan agar
si anak tidak menangis, dan terhindar dari penyakit ket droe (ketakutan hingga
mengalami step). Anak akan nyaman tidur dalam ayunan, sehingga ia mudah lelap.
Apalagi saat di ayunan ibunya mendendangkan syair-syair penyemangat dan syair
religi.
Kain yang digunakan untuk
ayunan biasanya berwarna merah, sebagai lambang keberanian, agar si anak
berani dan mampu menaklukkan segala rintangan dalam kehidupan. Dulu, tali
untuk mengikat ayunan digunakan tali ijuk untuk menangkal pengaruh jahat bagi
si anak. Dalam pemahaman orang tua-tua dulu, tali ijuk sangat ampuh untuk
mengusir setan. Karena diikat dengan tali
ijuk ayunannya, maka setan tidak berani mengganggu si anak.
Upacara ikat ayon
dilakukan pada hari ketiga setelah upacara peutron bak tanoh, yakni hari
ketiga anak menginjakkan kakinya pada tanah. Ketika anak ditidurkan dalam
ayunan, maka ibunya akan mendendangkan syiar-sayir kepahlawanan dan syair
religi, agar sianak tumbuh menjadi kuat dan mengikuti ajaran agama. Salah satu
syair dalam bahsa Aceh yaitu:
Alah hai do kudoda idang
Bungong kumang dalam istana
Beurijang rayeuk banta seudang
Beu ek ta prang musoh dum na
Di setiap akhir bait syair
ditutup dengan dua kalimah syahadat, Laila ha illalah, Muhammadararrasulullah
(tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad merupakan rasul Allah).
- Boh
Nan / Memberi Nama Bagi Anak
Biasanya upacara boh nan
untuk memberi nama si anak dilakukan bersamaan dengan upacara peutron aneuek
dan upacara hakikah. Kadang-kadang Cuma disebut upacara peutron aneuek, yang
pengertiannya mencakup tiga upacara tersebut. Upacara ini dilakukan pada bulan
kedua atau ketiga usia si anak.
Upacara ini dilakukan di
rumah orang tua si ibu, tempat anak dilahirkan. Bahan-behan persiapannya sama
seperti pada upacara peutron aneuek dan upacara hakikah. Pemberian nama
sebenarnya sudah dilakukan oleh bidan pada saat anak itu lahir, yakni saat
tali pusatnya dipotong.
Kalau orang tuanya setuju
dengan nama yang diberikan itu, maka tinggal dikukuhkan kembali oleh Teungku
pada saat upacara boh nan. Apabila tidak, maka Teungku akan mencari nama lain
yang sesuai dengan nama-nama dalam agama Islam, yang diambil dari nama-nama
keturunan para Nabi.
Saat upacara pemberian
nama, si anak dipangku oleh ibunya, sementara suaminya berdiri di sisinya di
hadapan Teungku. Saat itu Teungku akan menanyakan hari apa dan tanggal berapa
menurut kalender hijriah si anak lahir. Setelah mengetahui hari kelahiran,
maka Teungku akan mencari nama yang cocok untuk si anak. Namun bila nama itu
tidak cocok, dalam artian si anak sering sakit-sakitan, maka orang tuanya akan
memberikan nama lain (balek nan).
- Lhah
Miek
Lhah miek merupakan
upacara penyapihan agar si anak tidak lagi menyusui pada ibunya. Masa lhah miek
biasanya setelah anak berusia dua tahun. Akan tetapi semua itu tergantung pada
kondisi ibu dan anak yang disusuinya. Bila dia telah hamil lagi, maka si anak
segera disapih. Ada anggapan dalam masyarakat, kalau anak yang menyusui pada
ibunya yang hamil, maka ia akan memakan darah adiknya yang masih dalam kandungan,
ia akan sakit-sakitan.
Lhah Mmiek ini dilakukan
secara tertutup, hanya antara si anak dengan ibunya. Bila ada masalah baru
diminta bantu pada bidan. Setelah disapih, maka tindakan pertama yang
dilakukan si ibu adalah memisahkan tempat tidur si anak. Anak diserahkan
kepada saudara ibu, atau ditidurkan di kamar lain, agar ia tidak lagi menyusui.
Bila juga tidak berhasil,
maka si ibu akan mengoleskan ramuan daun-daunan yang pahit pada (maaf-red)
pentil payudaranya, agar ketika anak menyusui akan terasa pahit. Dengan
demikian si anak tidak akan lagi minta disusui.
- Hakikah
Hakikah merupakan adat
Aceh yang bertautan dengan agama. Bagi orang yang memiliki kemampuan, upacara
ini dilakukan dengan kenduri besar-besaran dengan memotong sapi, kerbau atau
kambing. Hewan sembelihan harus hewan jantan, tidak boleh betina. Upacara ini
biasanya dilakukan bersamaan dengan upacara boh nan, yakni memberi nama kepada
si anak.
Upacara ini dilakukan di
rumah tempat si anak lahir. Persiapan dan perlengkapan kenduri dilakukan oleh
pihak Matuan (mertua perempuan). Namun dewasa ini sering dipersiapkan oleh
ayah sianak. Kalau orang tuanya tidak mampu, maka upacara hakikah tidak
dilaksanakan. Bahan-bahan persiapan kenduri hakikah berupa: hewan jantan yang
akan disembelih, kain putih setengah meter, minyak wangi dan sisir. Pada saat
hewan disembelih, mukanya ditutup dengan kain putih. Di bawdan hewan itu
diberi minyak wangi, dan bulu kepalanya disisir.
Di Gampong Nangrhoe Timu
biasanya upacara ini dilakukan di rumah
dan ada juga yang membuat kenduri di Dayah. Apabila diadakan di dayah, Ayah si
anak menyerahkan semua keperluan kenduri hakikah kepada Abu Dayah. Para santri
akan mempersiapkan kenduri tesrebut, mulai dari memasak sampai menghidangkan
makanan untuk disantap bersama.
3.
Adat Istiadat Terhadap Anak
Sebelum Dewasa
Perlakuan adat terhadap si
anak akan terus dilakukan sampai ia dewasa, seperti saat mengantar mengaji,
sunatan rasul atau khitanan, sampai anak itu dewasa dan dinikahkan.
- Mengantar
anak mengaji/intat beut
Setelah anak menanjak
remaja, ia akan diantar ke balai pengajian. Sudah menjadi tradisi dalam
masyarakat Aceh, sebelum anak itu mengaji untuk pertama kalinya, akan di peusujieuk
(tepung tawar) dan dibekali dengan bawaan yang akan dipersembahkan kepada
Teungku yang akan mengajarkan anak tersebut mengaji.
Barang bawaan yang
diserahkan kepada Teungku biasanya: bu lukat kuneng (nasi ketan kuning) satu
piring, manok panggang (ayam panggang) satu ekor, pisang abin (pisang susu)
satu sisir, beureuteh atau keumbeu (beras yang digoseng sebagai makanan ringan)
sepiring, boh manok reboh (telur rebus) satu butir, Quran ubiet (Quran
kecil—juz amma), ranub (sirih) seikat, serta enam hasta klain putih.
Semua itu diserhakan
kepada Teungku sebagai bentuk menyerahan pula si anak untuk dididik agar pandai
mengaji. Barang bawaan yang dipersembahkan tersebut akan dimakan bersama para
santri di balai pengajian.
- Peutamat
beut
Upacara Peutamat Beut (tamat
mengaji) disebut juga upacara chatam Quran. Dilakukan pada saat anak tamat
membaca Al Quran. Kadang-kadang bagi anak laki-laki upacara ini dilakukan pada
saat sunatan rasul (khitan). Kegiatan ini dilakukan di tempat anak mengaji.
Setelah si anak tamat
membaca Al Quran di tempat ia belajar mengaji. Ia memberitahukan kepada orang
tuanya. Oleh orang tuanya akan melakukan peusijuektamat beut. Pihak orang tua
akan bermusyawarah dengan Teungku Seumeubuet (guru ngaji) tentang waktu
pelaksanaanya acara ini. Oleh orang tua santri akan membawakan bahan-bahan
kenduri yang dibawa berupa, beureuteh, ketan kuning, dan bahan-bahan tepung
tawar sepeti pada peusijeuk umumnya.
Orang yang pandai mengaji
diundang pada acara ini. teman-teman sepengajian ikut menyaksikan acara ini.
Pada anak yang menamatkan Al Quran disuruh bacakan beberapa ayat, yang kemudian
dilanjutkan oleh teman-temannya dari satu ayat ke ayat lain secara bergiliran.
Teungku hanya menyimak semua bacaan santrinya tersebut.
Setelah itu, si anak akan
ditepung tawari. Makanan yang dibawa orang tua sianak kemudian dimakan bersama
di balai pengajian tersebut. Dulu orang kaya di kampung-kampung malah membuat
kenduri memotong kambing pada acara ini, sebagai bentuk rasa syukur anaknya
sudah belajar Al Quran sampai tamat.
- Sunatan
rasul / khitan
Ketika anak laki-laki
sudah berumur sekitar sepuluh tahun atau anak perempuan sekitar satu tahun,
akan dilakukan upacara peusunat (khitan). Untuk anak perempuan biasanya tidak
dilakukan secara khusus, malah ada yang dilakukan secara tertutup. Namun bagi
anak laki-laki diadaan upacara khusus, dipakaikan pakaian adat dan peusijuek
(tepung tawar) oleh keluarganya di atas pelaminan, yang disertai pula dengan
kenduri.
Pada hari upacara adat
itu, si anak dimandikan dan dipakaikan pakaian adat. Bagi anak para pembesar
sering dinaikkan ke tandu atau kuda dan diarak dengan iringan musik seureune
kalee, geudrang dan canang. Ia diarak keliling kampung serta disinggahkan ke
mesjid sebagai pertanda bahwa si anak sudah baligh dan sudah wajib ke mesjid
pada hari Jumat.
Setelah diarak sia anak
akan dibawa pulang dan didudukkan di atas pelaminan. Para tetangga dan sanak
saudara dan tamu yang datang akan datang menyalaminya dengan memberikan
sejumlah uang saat salaman (salam tempel).
4.
Adat dan Pergaulan Aneuk Muda
Pada zaman dahulu,
pergaulan muda-mudi di Gampong Nangrhoe Timu sangat dibatasi. Antara laki-laki
dan perempuan tidak bebas bergaul terlalu dekat. Hal ini dilakukan sebagai
upaya menghindari pergaulan bebas. Apabila seseorang datang bertamu ke sebuah
rumah, la tidak boleh masuk ke rumah tersebut apabila suaminya tidak ada di
rumah. Bahkan tamu tadi dilarang masuk ke dalam pekarangan rumah.
Apalagi untuk menjumpai
seorang gadis, biasanya seorang laki-laki yang hendak bertamu terlebih dahulu
ia melihat apakah suami yang punya berada di rumah. Apabila ternyata ada, tamu
sejak masuk pekarangan rumah ia memberitahukan lebih dahulu dengan membuat-buat
batuk agar wanita di depan rumah dapat masuk ke dalam. Karena biasanya seorang
wanita dilarang duduk dengan tamu.
Hal ini dilakukan untuk
menjaga marwah keluarga dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi
dewasa ini adat pergaulan seperti itu walaupun tidak begitu ketat. Namun
pembatasan terhadap adat atau aturan yang diwariskan masih tetap dipertahankan,
meskipun pengaruh global yang sangat sulit di bendung.
BAB IV
PERMAINAN DAN PERTUNJUKAN
Untuk mengisi waktu
senggang atau masa istirahat dari berbagai kegiatan, masyarakat Aceh memiliki
berbagai permainan dan pertunjukan. Zaman dahulu berbagai pertunjukan
biasanya dilakukan ketika musem luwah blang, yakni pada masa setelah panen di
sawah. Beberapa permainan dan pertunjukan itu antara lain:
1. Canang
Trieng
Canang Trieng adalah suatu
alat musik yang terbuat dari bambu berukuran ± 50 Cm. Canang Trieng ini
merupakan salah satu alat musik tradisional masyarakat Gampong Nangrhoe Timu
yang sering dimainkan oleh masyarakat pada acara pertunjukan. Acara pertunjukan
tersebut biasa diadakan ditempat-tempat lapang atau terbuka. Namun Canang
Trieng tersebut hanya menjadi sejarah seni yang tidak dibudayakan lagi, atau
sudah ditinggalkan oleh warga. Akibad tidak regenerasi yang terputus
dikarenakan konflik Aceh yang sangat panjang. Sulit bagi masyarakat untuk
membangun kembali kesenian ini karena selain tidak ada lagi orang yang ahli
membuat Canang, juga tidak ada yang ahli untuk memainkan alat musik tersebut.
2. Seudati
Kata seudati berasal dari
bahasa Arab syahadati atau syahadatain , yang berarti kesaksian atau pengakuan.
Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata
seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Seudati mulai dikembangkan sejak
agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai
media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini cukup
berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Tarian ini dibawakan dengan
mengisahkan berbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana
memecahkan suatu persoalan secara bersama.
Pada mulanya tarian
seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang
artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam, atau
diperagakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama.
Dalam ratoh diceritakan
berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasehat, sampai pada kisah-kisah yang
membangkitkan semangat. Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh umumnya
berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam
seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Diantaranya istilah Syeh yang
berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan Syair yang berarti nyayian.
Seudati ditarikan oleh
delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang pemimpin
yang disebut syeh, satu orang pembantu syeh, dua orang pembantu di sebelah kiri
yang disebut apeet wie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak
, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi
sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
Jenis tarian ini tidak
menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti
tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari.
Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Bebarapa
gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Namun, ada
beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan
dan kegagahan si penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada dan perut
mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.
Busana tarian seudati
terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat, keduanya
berwarna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang; rencong
yang disisipkan di pinggang; tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah yang
diikatkan di kepala; dan sapu tangan yang berwarna. Busana seragam ini hanya
untuk pemain utamanya, sementara aneuk syahi tidak harus berbusana seragam.
Bagian-bagian terpenting dalam tarian seudati terdiri dari likok (gaya;
tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menceritakan
tentang kisah kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.
Pada umumnya, tarian ini
diperagakan di atas pentas dan dibagi menjadi beberapa babak, antara lain:
Babak pertama, diawali dengan saleum (salam) perkenalan yang ucapkan oleh
aneuk syahi saja, yaitu:
Assalamualaikum lon tamong lam
seung,
Lon jak bri saleum keu bang syekh
teungku….
Fungsi aneuk syahi untuk
mengiringi seluruh rangkaian tari. Salam pertama ini dibalas oleh Syeikh dengan
langgam (nada) yang berbeda:
Kru seumangat lon tamong lam seung,
lon jak bri saleum ke jamee teuka…
Syair di atas diulangi
oleh kedua apeet wie dan apeet bak. Pada babak perkenalan ini, delapan penari
hanya melenggokkan tubuhnya dalam gerakan gemulai, tepuk dada serta jentikan
delapan jari yang mengikuti gerak irama lagu. Gerakan rancak baru terlihat
ketika memasuki babak selanjutnya. Bila pementasan bersifat perntandingan, maka
setelah kelompok pertama ini menyelesaikan babak pertama, akan dilanjutkan
oleh kelompok kedua dengan teknik yang berbeda.
Biasanya, kelompok pertama
akan turun dari pentas. Babak kedua, dimulai dengan bak saman , yaitu seluruh
penari utama berdiri dengan membuat lingkaran di tengah-tengah pentas guna
mencocokkan suara dan menentukan likok apa saja yang akan dimainkan. Syeh
berada di tengah-tengah lingkaran tersebut. Bentuk lingkaran ini menyimbolkan
bahwa masyarakat Aceh selalu muepakat (bermusyawarah) dalam mengambil segala
keputusan. Muepakat itu, jika dikaitkan dengan konteks tarian ini, adalah
bermusyawarah untuk menentukan saman atau likok yang akan dimainkan.
Di dalam likok
dipertunjukkan keseragaman gerak, kelincahan bermain dan ketangkasan yang
sesuai dengan lantunan lagu yang dinyanyikan aneuk syahi. Seluruh penari utama
akan mengikuti irama lagu yang dinyanyikan secara cepat atau lambat tergantung
dengan lantunan yang dinyanyikan oleh aneuk syahi tersebut. Fase lain adalah
fase saman.
Dalam fase ini beragam
syair dan pantun saling disampaikan dan terdengar bersahutan antara aneuk syahi
dan syeikh yang diikuti oleh semua penari. Untuk menghilangkan rasa jenuh para
penonton, setiap babak ditutup dengan formasi lanie, yaitu memperbaiki formasi
yang sebelumnya sudah tidak beraturan.
Pakaian pemain seudati
yang ketat membungkus tubuh-tubuh tegap, yakni baju tipis berlengan panjang dan
celana panjang yang sempit, bukan saja dimaksud untuk memudahkan gerak dan
loncatan, tapi juga untuk menonjolkan bentuk tubuh yang kokoh, tegap dan keras.
Untuk memperindah pertunjukan, para pemain memakai tengkulok di kepala pemain
dan lilitan kain di pinggang. Ini merupakan ciri khas tari seudati. Di pinggang
para pemain diselip juga sebilah rencong sebagai lambang kejantanan.
Gerak berirama yang paling
menonjol dalam seudati adalah tepukan dada yang menderap serentak sehingga
mengeluarkan suara keras yang membahana, ketip jemari, jerak tangan yang
seragam dan lantunan irama yang seirama dengan gegap gempita, membuat seudati
menjadi tontonan yang sangat heroik, romantis dan indah.
Zaman dahulu, seudati
merupakan hiburan paling utama bagi prajurit Aceh, terutama bila mereka sedang
dipersiapkan untuk suatu pertempuran. Sebelum mereka besoknya bertolak ke
garis depan pertempuran, beberapa malam sebelumnya diadakan pertunjukan seudati
yang mengurai kisah-kisah kepahlawanan.
3. Meurukon
Rukon merupakan budaya
Islami yang sudah mengakar dalam masyarakat Aceh. Dalam acara meurukon
biasanya diperdebatkan dua atau tiga kafilah (kelompok). Satu kafilah biasanya
berjumlah enam sampai sepuluh orang. Mereka dipimpin oleh seorang syeh.
Materi yang diperdebatkan,
serta jawaban yang diberikan akan dinilai oleh para hakim yang disebut Syeh
Kuna yang biasanya berjumlah tiga sampai lima orang. Materi yang diperdebatkan
dalam rukon semuanya soal agama.
Perdebatan dalam rukon
sangat alot. Untuk menghindari salah tafsir dari rukon, acara ini tidak disebut
sebagai pertandingan atau adu argumen soal agama. Tapi disebut sebagai acara
meutrang-trang agama, saling menjelaskan soal pemahaman agama.
Acara meurukon biasanya
diadakan di sebuah rangkang (balai), makanya disebut juga sebagai ajang debat
ala tengku rangkang. Namun sering juga diadakan di meunasah (surau). Kafilah
yang akan berdebat duduk bersila di atas balai. Antara kafilah yang satu dengan
lainnya duduk terpisah. Permulaan rukon diawali dengan khutbah rukon. Syeh
setiap kafillah menyampaikan mukaddimah, memperkenalkan kafilahnya kepada
penonton.
Ciri khas rukon adalah,
materi yang diperdebatkan semuanya berkaitan dengan hukum Islam. Mengajukan
dan menjawab pertanyaan disampaikan dalam syair yang spontanitas. Hal inilah
yang jadi daya tarik rukon. Di kampung-kampung Aceh, saat pergelaran rukon,
masyarakat berbondong-bondong untuk megikutinya. Karena ada pengetahuan agama
yang diajarkan melalui perdebatan para kafillah. Malah ada ibu-ibu yang ikut
membawakan ayunan untuk menidurkana anaknya di tempat pergerakan rukon.
Kemampuan syeh setiap
kafilah membangkit radat (irama) mampu membuat penonton betah sampai
pergelaran rukon usai. Suasana rukon terasa sangat hidup ketika suara syeh
setiap kafilah melengking membangkitkan berbagai irama syari religi. Syair mengajukan
dan menjawab pertanyaan yang kemudian diikuti oleh para anggota kafilah.
Setelah khutbah rukon,
syeh kuna mengajukan beberapa pertanyaan pembuka kepada setiap kafilah secara
bergiliran. Syeh kuna akan melilai tinkat kebenaran dan rincian jawaban
masing-masing kafilah. Babak selanjutnya syeh kuna tidak lagi mengajukan
pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya akan diajukan satu kafilah ke
kafilah lain, syeh kuna hanya menilai, pertanyaan dan jawaban yang diberikan.
Saat saling melemparkan pertanyaan dan menjawab itulah penonton mendapat
kupasan ilmu agama.
Kafilah yang mendapat
pertanyaan, dengan dikomandoi syeh akan menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian
kafilah penanya akan merespon apakah jawaban yang diberikan benar atau tidak.
Adakalanya antara penanya dan penjawab merasa sama-sama benar. Untuk mencari
mana kebenaran yang sesungguhnya, maka pertanyaan itu dilemparkan secara
bersama kepada syeh kuna untuk meluruskannya. Meminta penilaian syeh kuna juga
dilakukan melalui syair. Salah satu syair itu adalah:
Teungku meunan kamoë meunoë
Masaalah nyoë bek temeudakwa
Wahé e tungku kamoë hana meutuôh
Pulang u teungku syeh kuna.
Selanjutnya, Syeh Kuna akan
meluruskan jawaban, dengan berbagai dalil. Karena itulah acara meurukon disebut
juga sebagai ajang bedah kitab keislaman. Kemampuan setiap kafilah dalam
mengajukan dan menjawab pertanyaan sangat bergantung pada banyaknya referensi
kitab yang mereka baca. Malah, satu pertanyaan sering dikupas sampai
berjam-jam. Untuk mengupas tata letak akasara dalam kalimah bismillah saja
kadang membutuhkan waktu semalam suntuk.
Kita berharap pemerintah
memberdayakan kembali acara meutrang-trang agama ini. Karena melestarikan
rukon berarti melestarikan tiga hal sekaligus, yakni rukon itu sendiri sebagai
budaya yang religius, metode pendidikan—kuliah umum—bagi masyarakat melalui
rukon, serta syair-syair religius yang terkandung dalam rukon itu sendiri.
4. Meudike
Meudike merupakan pujian-pujian
kepada Allah SWT dan selawat kepada Rasulullah SAW yang diperunjukan pada acara
Maulid Nabi besar Muhammad SAW. Pada umumnya di Aceh meudike atau zikir Maulid
biasanya dimainkan oleh kelompok orang dewasa dan juga anak-anak. Di Gampong
Nanggroe Timu meudike dimainkan oleh sekelompok anak-anak untuk mengisi acara
peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Satu kelompok diké biasanya berjumlah 30
sampai 40 anak laki-laki. Mereka dipimpin oleh empat sampai enam orang dewasa
sebagai syeh. Syeh dikè harus mampu membangkitkan berbagai radat (irama) dalam
melantunkan syair-syair dikè.
Syair dalam dikè berisikan
pujian kepada Allah, serta doa-doa agar peringatan maulid Nabi mendapat berkah.
Selain itu juga berisikan sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam
menyebarkan agama islam. Sebagai variasi, dalam syair dikè juga dimasukkan
kisah-kisah yang bertemakan tentang pendidikan dan tamsilan-tamsilan yang
bermanfaat bagi kehidupan.
Dikè berasal dari kata
zikir dalam bahasa Arab. Dikè merupakan sejenis seni suara yang dilantunkan
oleh anak-anak. Awalnya syair-syair dalam dikè disampaikan dalam bahasa Arab
dengan berbagai irama yang bervariasi. Belakangan, syair berbahasa Aceh juga
dimasukkan, biasanya pada syair pengantar dan penutup dikè. Para pemain dikè
selain syeh, menggunakan prék yang dibuat dari situek (pelepah pinang) sebagai alat untuk membangkitkan irama
dengan cara memukulnya ke lantai secara serentak. Pukulan disesuaikan dengan
irama syair yang dibawakan oleh syeh.
Dikè dibagi dalam tiga
babak. Pada babak pertama, pemain dikè duduk bersila di lantai meunasah
(surau) tempat maulid diadakan. Mereka membentuk lingkaran bundar. Setelah syeh
membawa syair pengantar, langsung disambut oleh para pemain sambil mengayun
bahu dan kepala secara serentak ke keiri dan kanan. Ayunan bahu dan kepala juga
selaras dengan irama syair yang semakin lama semakin cepat.
Syair yang dilantunkan
dengan suara melengking berpadu sengan irama prék di lantai merupakan sebuah
keunikan tersendiri. Masyarakat biasanya datang ke meunasah untuk menyaksikan
acara meudikè. Sementara para pemuda dan tetua kampung, sibuk menjamu para
undangan dari berbagai desa yang hadir untuk menikmati suguhan kenduri maulid.
Pada babak kedua, para
pemain yang duduk bersila tadi akan berdiri dan saling berpegang tangan kiri
dan kanan. Posisi masih membentuk lingkaran bundar. Selanjutnya syeh akan
melantunkan syair pembuka babak kedua, seperti:
Marhaban ya marhaban
Marhaban jattal husaini
Marhaban ya marhaban
Marhaban ya nurulaini
Huedlallah-huedlallah
Marhaban ya nurulaini
Masih seperti pada babak
pertama, syair-syair itu akan diikuti oleh para pemain dikè. Sambil mengayunkan
tangan yang berpagangan tadi ke depan dan belakang, dengan irama yang semakin
lama semakin cepat. Hentakan tersebut membangkitkan irama lantai yang keras.
Begitu seterusnya sampai berpuluh syair dilantunkan.
Kelompok
Dike sedang melakukan Zikir Maulid yang dipimpim oleh tiga orang Syeh dik dan
diikuti oleh 20 anak-anak sebagai anggota kelompok dike gampong Nanggrhoe Timu.
Babak kedua ini disebut dengan grôp,
yakni menghentakkan kaki ke lantai secara serentak dengan irama bervariasi.
Akurasi derap telapak kaki yang serentak dan bervariasi tersebut merupakan
sebuah keindahan tersendiri. Pada babak inilah puncak dari dikè.
Setelah grôp usai, para
pemain akan kembali duduk seperti pada babak pertama. Gerakan pada babak ketiga
sama dengan babak pertama tapi lebih lembut. Biasanya satu pergelaran dikè
menghabiskan waktu tiga sampai empat jam.
Untuk menghindari lelah
para pemainnya, pada babak pertama diselingi dengan minum bersama dengan
berbagai peganan yang dihidangkan. Setelah dikè berakhir baru dihidangkan nasi.
Dikè tidak pernah dimainkan di tempat terbuka. Ini erat kaitannya dengan makna
dik itu sendiri yang bermakna zikir. Dikè juga merupakan pergelaran musiman yang hanya dimainkan pada bulan maulid.
5. Dala-è
(Dalailul Khairat)
Dalailul
Khairat, dalam bahasa Aceh disebut dengan Dala-è. Pada umumnya masyarakat
Aceh sering membacakan Dala-è
pada
malam hari dengan membentuk kelompok, disebut dengan kelompok Dala-è.
Dalam
kelompok Dala-è terdiri antara 3 atau 5 orang Syeh dan
20 hingga 30 orang anggota termasuk didalamnya kaum muda dan tua. Dalam
kelompok Dala-è tidak termasuk kaum perempuan.
Dalailul Khairat
salah satu bentuk zikir yang juga mengandung nilai seni tersendiri yang sangat
digemari oleh masyarakat Aceh. Kononnya, Dalail Khairat ini sudah berkembang
dalam masyarakat Aceh sejak berabad-abad yang silam. Dahulu, dihampir setiap
desa di Aceh masyarakatnya selalu membaca kitab Dalailul Khairat secara
bersama-sama di Meunasah (surau) pada malam hari terutama pada malam
Jumat. Nilai seni yang terkandung dalam Dala-e ini terletak pada kesamaan suara
ketika kitab ini dibaca secara serentak. Menariknya hampir separuh bagian akhir
kitab Dalail Khairat ini dihiasi dengan syair-syair yang dibacakan dalam bentuk
kasidah dengan berbagai lagu dan irama.
Biasanya, untuk
membaca syair-syair dalam kitab Dalail ini dibagi dalam dua kelompok, sehingga
syair-syair yang dibacakan terdengar saling bertautan antara dua kelompok
jamaah dala-e. Irama lagu untuk membaca syair-syair Dalail Khairat ini
tergolong bebas, tidak terikat. Kadang ada yang disesuaikan dengan irama lagu
India, kadang juga disesuikan dengan irama lagu dangdut.
Dalam perkembangan
sekarang Dalail Khairat juga sering di musabaqahkan, baik untuk tingkat
Kabupaten/Kota maupun Provinsi di Aceh. Momen Festival Dalail ini biasanya
dilaksanakan dalam perhelatan-perhelatan budaya bersifat islami di Aceh, misalnya
dalam Festival Baiturrahman yang menampilkan berbagai
perhelatan seni budaya Aceh yang islami.
Kelompok
Dala’e sedang membaca kitab dalalulkhairat
yang dipimpin empat orang syeh. Dan diikuti oleh semua anggota lompok.
Kasidah atau syair dalam
dala-e tersebut umumnya dilantunkan dalam bahasa arab, namun ada juga yang
dilantunkan dalam bahasa Aceh. Antara lain kasidah yang berbahasa arab,
kemudian dilantunkan kembali artinya dalam bahasa Aceh. Kasidah atau syair
tersebut antara lain sebagai berikut :
Dalam kasidah Arab :
Assubuhul bada minthala ‘atihi wallailu dajamiu
wafaratihi
Faqad rasula fadlan wa’ula adasubula lidalalatihi
Kanzur qarama maulan ni’ami hadil umami li
syar’atihi
Azkan nasabi alal hasabi kulul arabi fi qithmatihi.
Dalam kasidah Meulayu-Aceh :
Subuhlah nyata
lahirnya nabi
Sempurnalah
malam sempurna hari,
Tinggilah
rasul leubeh that manyang
Petunyuok
jalan dalilnya nabi,
Keuhdum mulia
pang ulee nikmat
Peutonyok umat
syariat nabi,
Sucilah bangsa
manyang leubeh martabat,
Dum ureung arab
jak sajan nabi
Tundok
lah kaye tuto lah batee
Beukah
lah beuleun isyarat nabi
Jibrail
datang malam israq
Tuhan
Hazarat yue hadir nabi
Syafa’at
mulia Allah Neu ampon
Ni
bak awai phon keu umat nabi
Nabi
Muhammad pang ulee tanyoe
Mulia
tanyoe ijabah nabi
Digampong Nangroe Timu Dala-è
sering
dibacakan pada setiap malam Jum’at, Syeh dalam
kelompok Dala-è di Gampong Nanggroe Timu antara lain :
1. Tgk. Fadlan
2. Tgk. Darmawan
3. Tgk. Muzakir
4. Tgk. Rezami
Sedangkan anggota Dala-è
terdiri
antara 20 sampai 30 orang kaum laki-laki baik itu pemuda maupun dari kalangan
tua. Dala-e di Gampong Nangrhoe Timu juga sering dipertunjukan pada saat acara
perkawinan atau pesta. Biasanya pada acara perkawinan dala-e dilantunkan pada
malam hari oleh kelompok dala-e juga diikuti oleh semua masyarakat khususnya
kaum laki-laki. Sedangkan pada siang hari dala-e hanya dilantunkan oleh lima
sampai enam orang saja, tujuannya selain untuk mendapatkan berkah juga untuk
memeriahkan acara perkawinan atau pesta.
Dalailul Khairat
di Gampong Nangroe Timu sudah merupakan sebuah budaya yang diwariskan oleh para
leluhur mereka. Sebagai mana diketahui di Gampong Nangrhoe Timu dulunya banyak
terdapat para ulama-ulama. Ulama-ulama inilah yang menerapkan budaya dala-e di
Gampong Nangroe Timu jauh sebelum masuknya penjajahan Belanda.
Landasan Dalailul
Khairat berisikan Zikir kepada Allah SWT, dan Selawat kepada Rasulullah SAW.
Untuk lebih menarik dalam membacakan Dala-è,
oleh
masyarakat gampong Nangroe Timu memberikan irama pada setiap bacaan.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebudayaan merupakan hasil dari cipta dan karsa
manusia dalam bermasyarakat yang dilakukan secara sadar baik oleh kelompok
maupun individu. Suatu kelompok masyarakat akan membentuk sebuah kebudayaan
yang didalamnya memiliki karakteristik tertentu sebagai ciri atau identitas
masyarakat tersebut, sistem budaya masyarakat tersebut terangkum dalam tujuh
unsur kebudayaan yang biasanya akan nyata terlihat dalam masyarakat yang masih
berada di wilayah pedesaan. Masyarakat Gampong Nangrhoe Timu memiliki ciri khas
keunikan tersendiri sebagai masyarakat pedesaan, terutama dalam menahan
derasnya kemajuan zaman dan pengaruh perkembangan global.
Ciri khas terhadap budaya dan adat-istiadat
masyarakat Gampong Nangrhoe Timu dapat dipertahankan hingga kini. Hal ini dapat
dibuktikan dengan masih banyaknya kebudayaan tradisional dan adat istiadat yang
masih berlaku dalam masyarakat Gampong Nangrhoe Timu.
Dalam sistem kehidupan sosialnya masyarakat
Gampong Nanggrhoe Timu masih mempertahankan tradisi kehidupan lamanya yaitu
menjungjung tinggi nilai kehidupan sosial dalam masyarakat. Meskipun banyaknya
pengaruh global seperti televisi, internet, radio, dan hanphone. Tapi tidak
mempengaruhi sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat Gampong Nanggrhoe
Timu. Salah satunya adalah budaya Meudala-e
(berzikir), Meurukon, dan Meudike diikuti
oleh seluruh kaum laki mulai dari pemuda sampai orang tua pada malam tertentu.
Kemudian budaya dan adat istiadat lain yang
masih dipertahankan antaralain adalah Canang
yang merupakan salah satu seni pertunjukan milik masyarakat Gampong Nangrhoe
Timu.
Iskandar Norman, Adat dan Budaya Pidie Jaya, Pemerintah
Kabupaten Pidie Jaya, 2010.
Biodata Penulis
Abdul
Hadi lahir di Gampong Manyang Cut, Kecamatan
Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya pada 22 September 1985 dari orang tua M.Gade
H.S. dan Asmawati Adam. Sehari-hari bekerja sebagai Guru.
Pernah
bekerja sebagai Jurnalis di media Harian Aceh Independent (2007-2009). Profesi
sebagai Guru pada SMK Negeri 1 Bandar Dua (2009-Sekarang).
Alumni
Universitas Serambi Mekkah Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Program
Study Sejarah 2007. Buku Sejarah dan Profil Budaya Gampong Nanggrhoe Timu
merupakan karya pertama terbitan bersama masyarakat dan lembaga adat Gampong
Nanggrhoe Timu (2013).
Rizzami lahir di Gampong Nangrhoe Timu, Kecamatan Ulim, Kabupaten
Pidie Jaya pada 09 Oktober 1987 dari orang tua Arm.
Bakhtiar Abd dan Saudah M. Amin. Rutinitas sehari-hari sebagai guru pada SMK N
1 Trienggadeng.
Alumni Al-Hilal Sigli Fakultas Keguruan dan Ilmu
Kependidikan Jurusan Pendidikan Agama Islam 2007. Pernah bekerja di PT. AGROE NANGRHOE ABADI (ANA) 2007-2008.
Profesi sebagai Guru di SMK N 1 Trienggadeng (2009-sekarang).
Karya
tulis Buku
Sejarah dan Profil Budaya Gampong Nanggrhoe Timu merupakan karya pertama terbitan
bersama masyarakat dan lembaga adat Gampong Nanggrhoe Timu (2013).